Senin, 05 Januari 2015

Cerpen "Janji Sahabat"



Janji Sahabat
“Ah, senangnya punya mereka. Bersama dengan mereka telah menyelamatkanku dari rasa kesepian. Senyuman dan canda tawa mereka telah mewarnai hari – hariku. Dukungan dan dorongan mereka selalu bisa membuatku bangkit dari keterpurukan. Terima kasih, Tuhan... Engkau telah mempertemukanku dengan mereka. Tanpa mereka, entah akan seperti apa...”
          Plok! Tiba – tiba seseorang menepuk pundakku dan membuyarkan lamunanku. Aku segera menoleh dan mendapati seseorang dengan senyuman yang lebar.
          “Eh, kamu Sella,” sambutku sambil membalas senyumannya.
          “Hehehe... Kamu kenapa kok senyum – senyum sendiri ? Sedang memikirkan apa ?” tanya Sella.
          Belum sempat aku menjawab pertanyaan Sella, seseorang merangkul kami berdua dari belakang.
          “Hai... Sudah, sudah. Bicaranya nanti lagi. Ayo, segera berangkat sebelum terlambat ! Nanti kalau gerbang sekolah sudah ditutup, tamat riwayat kita,” ucap Rani yang baru saja datang.
          Aku dan Sella segera bangkit dari tempat duduk dan segera berangkat ke sekolah. Sudah menjadi kebiasaan kami bertiga, sebelum berangkat sekolah berkumpul terlebih dahulu di taman dan berangkat sekolah jalan kaki bersama – sama.
Dalam perjalanan, kuperhatikan mereka berdua baik – baik. Di sebelah kiriku, ada Sella yang berjalan dengan santai, kedua tangannya dimasukkan ke saku roknya, baju seragam yang keluar, rok yang tanpa ikat pinggang, dan kerudung lipat yang hanya dipakai asal – asalan. Di sebelah kananku ada Rani yang berjalan dengan kepala sedikit menunduk, kedua tangannya di depan dengan tangan kanan yang memegang tangan kiri, dan baju yang rapi seperti biasanya.
Aku kembali tersenyum. Ya, mereka berdua adalah orang – orang yang tadi kupikirkan. Mereka adalah sahabat yang berharga bagiku.
Di tengah perjalanan kami menuju sekolah, tiba – tiba Sella berhenti.
“Kenapa Sella ?” tanyaku.
“Ada apa Sella ? Kalau tidak cepat, nanti kita bisa terlambat masuk sekolah,” ujar Rani.
“Sebentar lagi kita akan menjalani ujian kelulusan, bukan ?” tanya Sella tiba – tiba.
“Iya. Lalu kenapa ?” tanyaku.
“Aku ingin kalian berdua berjanji padaku. Kita akan selalu bersama dalam suka dan duka. Meskipun setelah ujian kelulusan nanti kita bersekolah di tempat yang berbeda – beda, aku ingin kalian tidak melupakan aku sebagai sahabat. Begitu juga dengan aku. Aku akan selalu mengingat kalian berdua. Kita akan terus menjadi sahabat !” ucap Sella.
Rani yang sejak tadi terlihat tergesa – gesa karena takut terlambat ke sekolah, kemudian tersenyum setelah mendengar ucapan Sella. Kemudian, Sella mengulurkan jari kelingkingnya. Aku dan Rani menyambut uluran tangan Sella. Kami bertiga saling mengaitkan jari kelingking kami.
“Aku janji !” ucapku dengan mantap.
“Janji !” ucap Rani.
Setelah mengucapkan janji bersama, kami segera berangkat ke sekolah sambil berlari – lari kecil karena hampir terlambat. Meskipun begitu, kami masih sempat bercanda dalam perjalanan. Untunglah, pintu gerbang sekolah kami belum ditutup saat kami sampai di sekolah.

  
****
 Pada jam istirahat, aku, Sella, dan Rani duduk di depan kelas. Pada saat itu, di depan kelas hanya ada kami bertiga. Tiba – tiba Sella mendekatiku dan membisikkan sesuatu padaku. Rani yang melihatnya langsung bangkit dari tempat duduknya dan berdiri di depan kami dengan ekspresi yang kurang mengenakkan hati. Ia terlihat sangat marah.
“Kalian anggap aku itu apa ? Kenapa kalian hanya membicarakan urusan berdua saja tanpa mengajakku ? Padahal aku ada di samping kalian. Kalian anggap aku itu sahabat kalian atau bukan ? Kalau tidak, lebih baik aku pergi saja !” ucap Rani dengan nada marah, kemudian pergi entah ke mana.
“Eh... Tunggu dulu, Rani !” panggilku.
“Sudah. Biarkan dia sendiri dulu,” ucap Sella sambil mencegahku yang akan mengejar Rani.
“Kenapa ? Bukankah kita telah berbuat salah ? Ayo, kita harus minta maaf pada Rani !” ajakku pada Sella.
“Iya, tapi sekarang biarkan dia menenangkan diri dulu,” ucap Sella.
Aku hanya diam dan menuruti apa yang dikatakan Sella. Namun, setelah kejadian itu, setiap aku dan Sella berusaha mendekati Rani untuk meminta maaf, Rani berusaha menjauhi kami berdua dan tidak memberi kami kesempatan untuk bicara padanya.
****
Sudah satu minggu Rani marah padaku dan Sella. Hal itu sangat mengganggu pikiranku. Kami tidak berangkat sekolah bersama seperti biasanya selama satu minggu.
Karena di rumah aku terlalu memikirkan Rani, aku sampai lupa mengerjakan PR yang diberikan oleh Ibu Guru. Ketika Ibu Guru bertanya siapa yang tidak mengerjakan PR, hanya aku yang tidak mengerjakannya. 
“Citra, kenapa kamu tidak mengerjakan PR yang diberikan oleh Ibu ? Bukankah Ibu sudah mengatakan bahwa PR kali ini akan Ibu nilai ?” tanya Ibu Guru sambil menyebut namaku.
“Iya, Bu. Maaf, saya lupa,” jawabku.
“Ya sudah. Sebagai hukumannya, kamu harus hormat pada tiang bendera di lapangan sekolah sampai jam istirahat !” perintah Ibu Guru.
“I... iya, Bu,” jawabku.
Aku segera keluar dari kelas menuju lapangan sekolah dengan langkah gontai sambil merutuki diriku sendiri.
Setelah hormat pada tiang bendera beberapa saat, aku melihat 2 siswi yang keluar dari kelasku. Pada awalnya, dari kejauhan aku tidak bisa melihat wajah mereka berdua. Namun, setelah semakin dekat, aku bisa melihat wajah mereka berdua dengan jelas.
Ternyata, mereka berdua adalah Sella dan Rani. Mereka langsung berdiri di sampingku dan hormat pada tiang bendera. Kedatangan mereka berdua benar – benar membuatku terkejut.
“Tunggu dulu ! Bukankah kalian sudah mengerjakan PR ? Aku jelas – jelas melihat Sella sudah mengerjakan PR dan aku tahu Rani selalu mengerjakan PR. Tidak mungkin Rani tidak mengerjakan PR,” kataku.
Namun, tak ada satupun dari mereka yang menanggapi perkataanku.
“Kenapa kalian berdua keluar ? Bagaimana kalau nanti kalian berdua tidak mendapatkan nilai PR ?” tanyaku pada mereka yang sejak tadi tidak menggubris kata – kataku.
“Aku tidak akan lari dari kata – kataku ! Aku telah berjanji pada kalian berdua kalau kita akan selalu bersama dalam suka dan duka. Aku juga telah berjanji untuk tidak melupakan kalian. Aku tidak peduli pada nilaiku. Aku ingin menepati janjiku,” ucap Rani yang sejak tadi diam saja.
Aku tertegun dengan ucapan Rani. Aku ingin menanggapi perkataannya, namun Sella memberi isyarat padaku agar diam saja. Aku hanya menuruti isyarat Sella karena aku tahu dia memiliki alasan memberiku isyarat seperti itu.
****
Setelah pulang sekolah, Sella mengajakku pergi ke taman tempat kami biasa berkumpul sebelum berangkat sekolah. Sella membawa bungkusan besar. Seperti yang telah diduga Sella, di taman itu ada Rani. Rani tampak sangat sedih dan kesepian.
“Hai... Selamat ulang tahun, ya !” ucap Sella tiba – tiba sambil menyerahkan bungkusan yang ia bawa kepada Rani.
Rani yang sepertinya sama sekali tidak menduga kehadiran kami, terlihat terkejut dan tidak berkata apa – apa.
“Sebelumnya maaf tentang waktu itu. Aku tidak menghargai keberadaanmu di samping kami berdua. Aku malah berbisik – bisik dengan Citra, tetapi aku tidak bermaksud membuatmu marah dan berpikir bahwa aku dan Citra tidak menganggapmu sebagai sahabat,” ucap Sella penuh penyesalan.
“Iya, aku juga minta maaf. Seharusnya, pada saat itu kami tidak berbisik – bisik saat ada kamu,” sambungku setelah mendengar perkataan Sella.
“Sungguh, aku tidak bermaksud buruk. Aku berbisik pada Citra untuk merencanakan kejutan untuk hadiah ulang tahunmu. Maka dari itu, aku berbisik – bisik pada Citra agar kamu tidak mendengar dan mengetahuinya. Sayangnya, aku membicarakannya dengan Citra pada waktu yang tidak tepat. Aku dan Citra sudah berusaha untuk minta maaf padamu, tapi kamu selalu menghindar dari kami berdua,” tambah Sella.
“Iya. Sekarang jangan marah lagi, ya ?” kataku pada Rani sambil menyodorkan bungkusan tadi.
Rani hanya terdiam dan membuka bungkusan hadiah itu. Isi dari bungkusan itu adalah boneka teddy bear  yang berukuran besar berwarna coklat. Boneka itu sudah lama diinginkan oleh Rani. Sebagai sahabatnya, tentu saja aku dan Sella tahu apa yang diinginkannya.
“Terima kasih, ya atas hadiahnya. Aku juga minta maaf pada kalian berdua karena aku terlalu egois dan tidak bisa menghargai privasi kalian berdua. Sekali lagi aku sangat berterimakasih atas hadiah yang kalian berikan, namun bagiku bisa bersama kalian adalah hadiah dari Tuhan yang terindah ,” ucap Rani sambil berkaca – kaca.
Akhirnya, kami pun kembali tertawa bersama dan akrab seperti biasanya. Aku sangat senang bisa bersama mereka. Meskipun sebelumnya harus terlibat masalah, kami bisa mengintrospeksi kesalahan masing – masing dan bisa menyelesaikan masalah ini dengan baik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar