Janji Sahabat
“Ah, senangnya punya mereka. Bersama dengan mereka telah
menyelamatkanku dari rasa kesepian. Senyuman dan canda tawa mereka telah
mewarnai hari – hariku. Dukungan dan dorongan mereka selalu bisa membuatku
bangkit dari keterpurukan. Terima kasih, Tuhan... Engkau telah mempertemukanku
dengan mereka. Tanpa mereka, entah akan seperti apa...”
Plok! Tiba – tiba seseorang menepuk pundakku dan
membuyarkan lamunanku. Aku segera menoleh dan mendapati seseorang dengan
senyuman yang lebar.
“Eh, kamu Sella,” sambutku sambil membalas senyumannya.
“Hehehe... Kamu kenapa kok senyum – senyum sendiri ? Sedang
memikirkan apa ?” tanya Sella.
Belum sempat aku menjawab pertanyaan Sella, seseorang
merangkul kami berdua dari belakang.
“Hai... Sudah, sudah. Bicaranya nanti lagi. Ayo, segera
berangkat sebelum terlambat ! Nanti kalau gerbang sekolah sudah ditutup, tamat
riwayat kita,” ucap Rani yang baru saja datang.
Aku dan Sella segera bangkit dari tempat duduk dan segera
berangkat ke sekolah. Sudah menjadi kebiasaan kami bertiga, sebelum berangkat
sekolah berkumpul terlebih dahulu di taman dan berangkat sekolah jalan kaki
bersama – sama.
Dalam
perjalanan, kuperhatikan mereka berdua baik – baik. Di sebelah kiriku, ada
Sella yang berjalan dengan santai, kedua tangannya dimasukkan ke saku roknya,
baju seragam yang keluar, rok yang tanpa ikat pinggang, dan kerudung lipat yang
hanya dipakai asal – asalan. Di sebelah kananku ada Rani yang berjalan dengan
kepala sedikit menunduk, kedua tangannya di depan dengan tangan kanan yang
memegang tangan kiri, dan baju yang rapi seperti biasanya.
Aku
kembali tersenyum. Ya, mereka berdua adalah orang – orang yang tadi kupikirkan.
Mereka adalah sahabat yang berharga bagiku.
Di
tengah perjalanan kami menuju sekolah, tiba – tiba Sella berhenti.
“Kenapa
Sella ?” tanyaku.
“Ada
apa Sella ? Kalau tidak cepat, nanti kita bisa terlambat masuk sekolah,” ujar
Rani.
“Sebentar
lagi kita akan menjalani ujian kelulusan, bukan ?” tanya Sella tiba – tiba.
“Iya.
Lalu kenapa ?” tanyaku.
“Aku
ingin kalian berdua berjanji padaku. Kita akan selalu bersama dalam suka dan
duka. Meskipun setelah ujian kelulusan nanti kita bersekolah di tempat yang
berbeda – beda, aku ingin kalian tidak melupakan aku sebagai sahabat. Begitu
juga dengan aku. Aku akan selalu mengingat kalian berdua. Kita akan terus
menjadi sahabat !” ucap Sella.
Rani
yang sejak tadi terlihat tergesa – gesa karena takut terlambat ke sekolah,
kemudian tersenyum setelah mendengar ucapan Sella. Kemudian, Sella mengulurkan
jari kelingkingnya. Aku dan Rani menyambut uluran tangan Sella. Kami bertiga
saling mengaitkan jari kelingking kami.
“Aku
janji !” ucapku dengan mantap.
“Janji
!” ucap Rani.
Setelah
mengucapkan janji bersama, kami segera berangkat ke sekolah sambil berlari –
lari kecil karena hampir terlambat. Meskipun begitu, kami masih sempat bercanda
dalam perjalanan. Untunglah, pintu gerbang sekolah kami belum ditutup saat kami
sampai di sekolah.
****
Pada jam istirahat, aku, Sella, dan Rani duduk
di depan kelas. Pada saat itu, di depan kelas hanya ada kami bertiga. Tiba –
tiba Sella mendekatiku dan membisikkan sesuatu padaku. Rani yang melihatnya
langsung bangkit dari tempat duduknya dan berdiri di depan kami dengan ekspresi
yang kurang mengenakkan hati. Ia terlihat sangat marah.
“Kalian
anggap aku itu apa ? Kenapa kalian hanya membicarakan urusan berdua saja tanpa
mengajakku ? Padahal aku ada di samping kalian. Kalian anggap aku itu sahabat
kalian atau bukan ? Kalau tidak, lebih baik aku pergi saja !” ucap Rani dengan
nada marah, kemudian pergi entah ke mana.
“Eh...
Tunggu dulu, Rani !” panggilku.
“Sudah.
Biarkan dia sendiri dulu,” ucap Sella sambil mencegahku yang akan mengejar
Rani.
“Kenapa
? Bukankah kita telah berbuat salah ? Ayo, kita harus minta maaf pada Rani !”
ajakku pada Sella.
“Iya,
tapi sekarang biarkan dia menenangkan diri dulu,” ucap Sella.
Aku
hanya diam dan menuruti apa yang dikatakan Sella. Namun, setelah kejadian itu,
setiap aku dan Sella berusaha mendekati Rani untuk meminta maaf, Rani berusaha
menjauhi kami berdua dan tidak memberi kami kesempatan untuk bicara padanya.
****
Sudah
satu minggu Rani marah padaku dan Sella. Hal itu sangat mengganggu pikiranku.
Kami tidak berangkat sekolah bersama seperti biasanya selama satu minggu.
Karena
di rumah aku terlalu memikirkan Rani, aku sampai lupa mengerjakan PR yang
diberikan oleh Ibu Guru. Ketika Ibu Guru bertanya siapa yang tidak mengerjakan
PR, hanya aku yang tidak mengerjakannya.
“Citra,
kenapa kamu tidak mengerjakan PR yang diberikan oleh Ibu ? Bukankah Ibu sudah
mengatakan bahwa PR kali ini akan Ibu nilai ?” tanya Ibu Guru sambil menyebut
namaku.
“Iya,
Bu. Maaf, saya lupa,” jawabku.
“Ya
sudah. Sebagai hukumannya, kamu harus hormat pada tiang bendera di lapangan
sekolah sampai jam istirahat !” perintah Ibu Guru.
“I...
iya, Bu,” jawabku.
Aku
segera keluar dari kelas menuju lapangan sekolah dengan langkah gontai sambil
merutuki diriku sendiri.
Setelah
hormat pada tiang bendera beberapa saat, aku melihat 2 siswi yang keluar dari
kelasku. Pada awalnya, dari kejauhan aku tidak bisa melihat wajah mereka
berdua. Namun, setelah semakin dekat, aku bisa melihat wajah mereka berdua
dengan jelas.
Ternyata,
mereka berdua adalah Sella dan Rani. Mereka langsung berdiri di sampingku dan
hormat pada tiang bendera. Kedatangan mereka berdua benar – benar membuatku
terkejut.
“Tunggu
dulu ! Bukankah kalian sudah mengerjakan PR ? Aku jelas – jelas melihat Sella
sudah mengerjakan PR dan aku tahu Rani selalu mengerjakan PR. Tidak mungkin
Rani tidak mengerjakan PR,” kataku.
Namun,
tak ada satupun dari mereka yang menanggapi perkataanku.
“Kenapa
kalian berdua keluar ? Bagaimana kalau nanti kalian berdua tidak mendapatkan
nilai PR ?” tanyaku pada mereka yang sejak tadi tidak menggubris kata – kataku.
“Aku
tidak akan lari dari kata – kataku ! Aku telah berjanji pada kalian berdua
kalau kita akan selalu bersama dalam suka dan duka. Aku juga telah berjanji
untuk tidak melupakan kalian. Aku tidak peduli pada nilaiku. Aku ingin menepati
janjiku,” ucap Rani yang sejak tadi diam saja.
Aku
tertegun dengan ucapan Rani. Aku ingin menanggapi perkataannya, namun Sella
memberi isyarat padaku agar diam saja. Aku hanya menuruti isyarat Sella karena
aku tahu dia memiliki alasan memberiku isyarat seperti itu.
****
Setelah
pulang sekolah, Sella mengajakku pergi ke taman tempat kami biasa berkumpul
sebelum berangkat sekolah. Sella membawa bungkusan besar. Seperti yang telah
diduga Sella, di taman itu ada Rani. Rani tampak sangat sedih dan kesepian.
“Hai...
Selamat ulang tahun, ya !” ucap Sella tiba – tiba sambil menyerahkan bungkusan
yang ia bawa kepada Rani.
Rani
yang sepertinya sama sekali tidak menduga kehadiran kami, terlihat terkejut dan
tidak berkata apa – apa.
“Sebelumnya
maaf tentang waktu itu. Aku tidak menghargai keberadaanmu di samping kami
berdua. Aku malah berbisik – bisik dengan Citra, tetapi aku tidak bermaksud
membuatmu marah dan berpikir bahwa aku dan Citra tidak menganggapmu sebagai
sahabat,” ucap Sella penuh penyesalan.
“Iya,
aku juga minta maaf. Seharusnya, pada saat itu kami tidak berbisik – bisik saat
ada kamu,” sambungku setelah mendengar perkataan Sella.
“Sungguh,
aku tidak bermaksud buruk. Aku berbisik pada Citra untuk merencanakan kejutan
untuk hadiah ulang tahunmu. Maka dari itu, aku berbisik – bisik pada Citra agar
kamu tidak mendengar dan mengetahuinya. Sayangnya, aku membicarakannya dengan
Citra pada waktu yang tidak tepat. Aku dan Citra sudah berusaha untuk minta
maaf padamu, tapi kamu selalu menghindar dari kami berdua,” tambah Sella.
“Iya.
Sekarang jangan marah lagi, ya ?” kataku pada Rani sambil menyodorkan bungkusan
tadi.
Rani
hanya terdiam dan membuka bungkusan hadiah itu. Isi dari bungkusan itu adalah
boneka teddy bear yang berukuran besar berwarna coklat. Boneka
itu sudah lama diinginkan oleh Rani. Sebagai sahabatnya, tentu saja aku dan
Sella tahu apa yang diinginkannya.
“Terima
kasih, ya atas hadiahnya. Aku juga minta maaf pada kalian berdua karena aku
terlalu egois dan tidak bisa menghargai privasi kalian berdua. Sekali lagi aku sangat
berterimakasih atas hadiah yang kalian berikan, namun bagiku bisa bersama
kalian adalah hadiah dari Tuhan yang terindah ,” ucap Rani sambil berkaca –
kaca.
Akhirnya,
kami pun kembali tertawa bersama dan akrab seperti biasanya. Aku sangat senang
bisa bersama mereka. Meskipun sebelumnya harus terlibat masalah, kami bisa
mengintrospeksi kesalahan masing – masing dan bisa menyelesaikan masalah ini
dengan baik.